Polres Trenggalek Akan Buka Kembali Kasus Penggerebekan dan Perundungan 2 Anak di Bawah Umur Usai Muncul Bukti Baru
0 menit baca
SERGAPNEWS.COM, TRENGGALEK, JAWA TIMUR – Dilansir dari Mediasaksinews Kasus dugaan penggerebekan dan perundungan terhadap dua anak di bawah umur yang dilakukan oleh tujuh orang dewasa pada 26 Mei 2024 di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, kembali mencuat. Polres Trenggalek menyatakan kemungkinan besar akan membuka kembali kasus tersebut setelah ditemukan bukti baru (novum), meski sebelumnya telah dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tertanggal 2 September 2024.
Tim kuasa hukum dari kantor Advokat Billy Nobile & Associates, yakni Mohammad Ababilil Mujaddin, S.Sy., M.H., C.L.A. dan Burhanuddin Jabbar, S.H., telah ditunjuk sebagai pendamping hukum keluarga korban, salah satunya adalah anak berinisial "NS". Korban disebut mengalami perundungan fisik dan psikis oleh tujuh pelaku dewasa yang sebagian besar masih memiliki hubungan keluarga serta bertetangga dengan korban.
Peristiwa bermula ketika para pelaku diduga secara paksa memasuki rumah korban, melakukan penggeledahan terhadap kendaraan dan barang pribadi seperti handphone milik korban, serta merekam seluruh tindakan mereka dalam bentuk video. Lebih lanjut, video tersebut disebarluaskan ke masyarakat tanpa persetujuan korban, yang diduga kuat sebagai bentuk pelanggaran privasi dan penghinaan martabat anak.
Mirisnya, pihak Polres Trenggalek saat itu sempat menyebut bahwa korban memiliki gangguan perilaku seksual (Compulsive Sexual Behavior Disorder/CSBD), tanpa mengacu pada hasil pemeriksaan medis resmi dari psikolog tersertifikasi, yang menjadi dasar hukum yang sangat dipertanyakan dalam penanganan kasus anak.
Pada Rabu, 9 Juli 2025, tim penasihat hukum beserta ibu kandung dan ayah angkat korban bertemu langsung dengan Kapolres Trenggalek, AKBP Ridwan Malik, didampingi oleh Wakapolres, KBO, Kanit PPA, dan dua penyidik Unit PPA. Dalam pertemuan tersebut, tim hukum secara tegas menyampaikan dua tuntutan utama:
1. Membuka kembali perkara berdasarkan novum sesuai Pasal 311 KUHP tentang fitnah.
2. Jika permintaan tersebut ditolak, tim hukum meminta hasil visum korban yang dilakukan pada 13 Juni 2024 di RSUD dr. Soedomo Trenggalek sebagai dasar untuk membuat laporan baru ke Polda Jawa Timur.
Menanggapi hal ini, Kapolres Trenggalek menyarankan tim hukum untuk berkoordinasi langsung dengan Kasatreskrim baru, AKP Eko Widiantoro. Melalui komunikasi yang juga disaksikan oleh KBO, dua penyidik Unit PPA, dan pihak keluarga korban, akhirnya disepakati bahwa kasus akan dibuka kembali berdasarkan bukti baru (novum).
Tim penasihat hukum dan keluarga korban meninggalkan Mapolres Trenggalek sambil menunggu tindak lanjut resmi atas kesepakatan tersebut.
Namun, muncul pertanyaan kritis dari publik: Mengapa harus ada tekanan dari kuasa hukum agar sebuah kasus kekerasan terhadap anak dapat diproses secara adil? Apakah masyarakat yang awam hukum harus selalu didampingi pengacara agar mendapatkan keadilan di depan institusi yang seharusnya menjadi pelindung mereka?
Kesan yang mengemuka, kepolisian kerap kali mempersulit masyarakat pencari keadilan, hingga korban seolah-olah dikriminalisasi, dan proses hukum bisa dengan mudah dihentikan tanpa transparansi. Dan ketika masyarakat memperjuangkan keadilan, prosesnya kembali dimulai dari nol—dengan aparat yang berbeda, seolah menghapus tanggung jawab penanganan sebelumnya.
Perkembangan kasus ini akan menjadi ujian serius bagi Polres Trenggalek dalam membuktikan komitmennya terhadap perlindungan anak, profesionalisme, dan integritas hukum yang berkeadilan.