Ketua DMI Bangka Diduga Aniaya Marbot: Perdamaian Diduga Jadi Alat Bungkam Keadilan
0 menit baca
SERGAPNEWS.COM, BANGKA BELITUNG — Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Bangka, Yasir Mustafa, kembali mengguncang publik. Pria yang juga menjabat sebagai Kepala Cabang Dinas (Cabdin) Pendidikan Wilayah II Provinsi Kepulauan Bangka Belitung itu dilaporkan melakukan kekerasan terhadap Ali Imron, seorang marbot Musholla Al-Ikhlas di Gang Namak, Sungailiat.
Menurut hasil visum RSUD Depati Bahrin Sungailiat, korban mengalami luka akibat pemukulan, penarikan telinga, dan penjambakan jenggot oleh pelaku. Tindakan itu dilakukan oleh seorang pejabat publik yang semestinya menjadi panutan bagi masyarakat.
Ironisnya, kasus tersebut kemudian berakhir dengan kesepakatan “perdamaian” yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk pemaksaan dan tekanan psikologis terhadap korban. Perdamaian itu justru dianggap sebagai upaya membungkam kebenaran dan melecehkan rasa keadilan masyarakat kecil.
Namun hingga kini, permintaan maaf kepada masyarakat belum disampaikan oleh Yasir Mustafa. Pengunduran dirinya dari Dewan Masjid Indonesia pun belum pernah diumumkan secara resmi. Lebih memprihatinkan lagi, setelah proses perdamaian dilakukan justru terjadi pengusiran terhadap Ali Imron dari musholla, yang dihembuskan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Atas dasar itu, perdamaian dinyatakan batal demi hukum, karena masih terdapat tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum-oknum setelah kesepakatan damai berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian yang dilakukan tidak berdasar pada keadilan, melainkan pada tekanan dan ketimpangan kekuasaan.
Sejumlah tokoh agama, masyarakat, dan aktivis hukum di Bangka menyerukan agar Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, melalui Dinas Pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), tidak menutup mata terhadap kasus ini. Mereka menuntut agar Yasir Mustafa diberikan sanksi tegas sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, di mana tindakan kekerasan dan perilaku amoral termasuk dalam pelanggaran berat dengan ancaman sanksi mulai dari penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Masyarakat menilai bahwa kekerasan terhadap marbot—sosok yang mengabdi di rumah ibadah—merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai keagamaan dan moral publik. Seorang pejabat publik yang juga Ketua DMI seharusnya menjadi teladan dalam akhlak dan kepemimpinan, bukan pelaku kekerasan di lingkungan keagamaan.
Seorang tokoh masyarakat Sungailiat menyatakan dengan nada kecewa, “Kalau Ketua DMI bisa memukul marbot lalu berdamai begitu saja, di mana letak keadilannya? Damai tanpa kebenaran hanyalah bentuk penindasan.”
Kini, sorotan publik tertuju pada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Babel. Publik menantikan langkah tegas yang membuktikan bahwa hukum dan disiplin ASN tidak pandang bulu. Karena keadilan sejati tidak boleh kalah oleh jabatan, dan damai yang dipaksakan hanyalah bentuk pengkhianatan terhadap nurani serta hukum. (*)
 
 
 
 



